Dulu ada istilah bahwa Jepang adalah negara yang terkenal mahal biaya hidupnya. Tapi deflasi yang terjadi di Jepang, telah mengubah paradigma itu. Seorang economist Jepang, Noriko Hama, dalam essaynya tentang deflasi mengatakan bahwa kompetisi dari para produsen untuk menurunkan harga (yasuuri kyoso) telah “menghancurkan masyarakat”. Kalau kita sekarang berkeliling berbagai pusat perbelanjaan di Jepang, akan terlihat dengan nyata bahwa perang pemotongan harga terjadi dengan besar-besaran.
Sebuah fenomena yang menjadi pembicaraan saat ini adalah toko retail pakaian yang bernama UNIQLO. Toko ini terkenal menjual barang dagangannya dengan harga rendah. Celana jeans di Uniqlo, rata-rata berharga 900 yen atau sekitar Rp90.000. Baju kerja, kaus, dan pakaian dalam, rata-rata dijual lebih rendah dari Rp100.000. Dengan kualitas yang cukup baik, Uniqlo menyerang pangsa pasar pakaian di Jepang yang terkenal mahal. Kompetisi harga rendah yang ekstrim (gekiyasu) bukan hanya terjadi di bisnis pakaian. Muncul juga supermarket dan toko-toko yang menamakan dirinya 100 yen Shop. Toko itu menawarkan semua barang dengan harga sekitar 100 yen atau Rp 10.000. Mereka memberi tagline pada dagangannya, bahwa dengan 100 yen, anda bisa hidup di Jepang.
Di bisnis makanan, restoran Yoshinoya yang terkenal dengan beef bowlnya juga ikut-ikutan memotong harga. Kalau dulu satu porsi beef bowl dihargai 580 yen atau sekitar Rp58 ribu, kini diturunkan menjadi 380 yen atau sekitar Rp38 ribu. Perang penurunan harga terjadi pada bisnis makanan cepat saji di Jepang.
Di kalangan ekonom terjadi perbedaan pendapat dan saling menyalahkan. Sebagian menyalahkan para retailer ini yang menurunkan harga terlalu ekstrim sehingga pusaran deflasi semakin parah. Tapi para retailer membela diri. Mereka menyalahkan rendahnya daya beli masyarakat sebagai faktor lesunya ekonomi. Artinya, walaupun harga sudah diturunkan, pembelian tetap tidak meningkat.
Semenjak krisis melanda, ekonomi Jepang memang dilanda kelesuan. Pasar domestik mengecil dan daya beli menurun. Deflasi bisa jadi penanda akan lesunya perekonomian. Apabila harga-harga terus turun, tentu produsen tidak memiliki insentif untuk berproduksi, pengangguran meningkat, dan ekonomi bertambah lesu. Upaya meningkatkan daya beli menjadi program dari pemerintahan Hatoyama, PM Jepang yang baru. Kebijakan memberi lebih banyak uang pada generasi muda menjadi target yang akan dicapai dalam beberapa tahun ke depan. Sayangnya, jumlah generasi muda ini terus menurun. Ujungnya, Jepang juga menggalakkan program “banyak anak, banyak rejeki”, agar generasi muda semakin banyak dan daya beli bisa meningkat.
Inflasi ataupun deflasi terbukti menyulitkan kehidupan masyarakat secara umum. Berbeda dengan Jepang, kita memiliki keunggulan di sisi daya beli. Saat krisis ekonomi melanda, ekonomi Indonesia terbukti masih bergairah dan tetap tumbuh karena daya beli masyarakat yang masih kuat. Hal ini sebenarnya yang menjadi kekuatan ekonomi Indonesia dalam menghadapi krisis global. Permasalahannya adalah bagaimana agar daya beli masyarakat tetap dapat dijaga dan inflasi dapat dikendalikan.
Langkah mengendalikan inflasi itu, diamanatkan kepada bank sentral. Di Jepang, tugas ini dipikulkan pada Bank of Japan, yang sudah memotong suku bunga hingga 0,1% untuk mendorong ekonomi, meski belum juga berhasil sepenuhnya. Di Indonesia, tugas mengendalikan inflasi dipikulkan pada Bank Indonesia yang menjaga suku bunga pada tingkatan yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi.
Inflasi atau deflasi adalah musuh yang dihadapi bersama dalam kehidupan. Banyak pihak mungkin tidak menyadari secara langsung arti inflasi atau deflasi. Namun saat gejala itu terjadi, dampaknya dirasakan pada kehidupan. Hal itulah yang saat ini dirasakan di Jepang, ataupun di Indonesia pada masa krisis moneter lalu, saat inflasi meroket drastis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar