Mahatma Guru Kapitalisme, Adam Smith, 200 tahun yang lalu mengatakan, “Orang-orang dengan kesamaan profesi tidak pernah berkumpul bersama kecuali untuk bersekongkol melawan masyarakat umum.” Bail-out Bank Century senilai Rp. 6,7 trilyun bisa terjadi apabila seseorang memahami bahwa Bank Sentral adalah suatu alat kartel atau perkumpulan bankir yang tugasnya membatasi dan meregulasi kompetisi di dunia perbankan dan siap sedia mem-bail-out industri perbankan sehingga menjamin laba dan mensosialisasikan kerugian mereka. Selanjutnya, Bank Sentral mempunyai kekuasaan untuk menciptakan uang sesuai kehendak, sehingga tidak saja para bankir, tetapi juga pemerintah yang berkuasa bersama konstituen dan kelompok kepentingannya dapat memetik keuntungan dari kewenangannya ini.
Untuk mengerti cara kerja Bank Sentral, bayangkan saja seorang pedagang yang mencurangi timbangannya, ia tidak peduli dengan harga selama timbangannya bisa dipermainkan. Uang kartal Bank Sentral diciptakan untuk menanggung bunga, dengan tingkat bunga setinggi pasar dapat menanggung. Bagian anda dalam menanggung Utang Nasional adalah berapa anda berutang uang kepada Bank Sentral karena menggunakan uang kartalnya. Berikut sekedar satu contoh bagaimana muslihat pelik ini bekerja: Departemen Keuangan adalah kesatuan yang berbeda dengan Bank Indonesia. Ketika pemerintah mengalami defisit anggaran, ia tidak bisa begitu saja meminta Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang untuk menutupi kekurangannya. Departemen Keuangan menutupi defisit anggaran pemerintah dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) kepada para investor yang meminjamkan uang mereka hari ini dengan harapan dibayar di kemudian hari.
Tetapi tunggu dulu, bagaimana caranya tiba-tiba SUN bisa bertengger di Neraca Bank Indonesia? Benar, BI tidak ikut lelang SUN, tetapi pialang/bank umum berebut membayar dengan harga tinggi karena tahu BI sudah menunggu untuk membelinya. Seperti yang disebut di atas, BI adalah sebuah alat kartel. Dengan membeli SUN, BI mencetak uang baru ke dalam sistem perbankan, dan untuk setiap Rp. 1 Trilyun SUN yang dibeli, bila cadangan wajib giro minimal BI adalah 5%, maka peredaran uang bisa bertambah (money multiplier) hingga Rp. 19 Trilyun. Dengan SUN berada di neraca BI, maka semua pihak yang terlibat memperoleh berkahnya masing-masing. Pemerintah diberkahi utang yang tidak usah dibayar, bisa diperpanjang terus. Pialang diberkahi komisi jual/beli surat berharga. Investor diberkahi capital gain. BI diberkahi bunga atau sewa uang yang diproduksi percetakannya. Masyarakat diberkahi ketidaktahuan menanggung beban semua ini.
Kalau pembaca bingung mengenai money multiplier dan bagaimana menghitungnya? Jangan khawatir, money multiplier akan saya jelaskan di bagian lain dan hampir rata-rata orang juga bingung akan berbagai definisi suplai uang. Seperti diketahui, uang dibagi menjadi M0, M1, M2 dan M3, dimana M0 adalah uang kartal (uang kertas dan logam) yang dicetak oleh Bank Indonesia melalui Perum Peruri. Selanjutnya uang ini masuk ke dalam sistem perbankan yang kemudian bank-bank menciptakan uang dalam bentuk lain, yaitu cek atau giro (checkable deposits), cek pelancong (traveler’s checks), dan lain-lain. Bentuk uang ini kemudian disebut M1 (narrow money). Implikasi dari memasukkan cek atau giro dan lainnya sebagai bagian dari suplai uang adalah menjadikan bank-bank umum juga menciptakan uang, benar dan memang benar, mereka adalah pabrik-pabrik pembuatan uang baru. Penjumlahan antara M1 dengan deposito menghasilkan peredaran uang dalam arti yang lebih luas, yaitu M2. Dengan ditemukannya berbagai variasi tabungan di pasar yang semakin rendah derajat likuiditasnya, definisi uang pun semakin menjadi luas, yaitu M3 (broad money).
Sebelum mengkaji lebih jauh apa itu uang, kita harus bersepakat mengenai arti penting uang, dan sebelum sampai ke sana, kita harus mengetahui bagaimana uang bisa muncul. Sebelum uang logam, ada barter. Barang atau jasa ditukar dengan barang dan/atau jasa tanpa satuan penukaran yang umum (uang). Unsur yang paling penting dalam barter adalah dua keinginan yang berketepatan (double coincidence of wants), dan yang berikutnya adalah keadaan tak dapat dibagi (indivisibilities). Seseorang mempunyai baju yang ingin ditukar dengan ayam harus mencari orang yang mempunyai ayam yang mau ditukar dengan baju. Sedangkan, seseorang yang mempunyai rumah dan ingin ditukar dengan mobil, kasur, meja, kursi dan lainnya mempunyai masalah bagaimana membagi rumahnya. Rumah akan menjadi tidak berharga apabila ia belah-belah untuk ditukar dengan barang-barang yang ia inginkan. Masalah lainnya dari barter adalah tidak bisa menghitung laba atau rugi dari sebuah transaksi atau usaha.
Pada suatu ketika, orang mulai memahami bahwa ada beberapa komoditi yang lebih diminati daripada komoditi lainnya, seperti ikan dan ayam misalnya. Maka, orang akan menukar barangnya dengan ikan atau ayam terlebih dahulu baru kemudian menukar ikan atau ayam tadi dengan barang yang ia inginkan. Dalam hal ini, ikan dan ayam telah menjadi komoditi yang dipilih menjadi sarana penukaran atau dikenal dengan uang. Ikan dan ayam dipilih menjadi uang karena lebih diminati secara umum daripada komoditi lainnya. Oleh karena itu, uang bukan dan tidak berasal dari penunjukan atau perintah yang berkuasa atau kontrak sosial yang disetujui semua warganya, melainkan harus berawal dari proses pasar bebas.
Perkembangan ekonomi kemudian memaksa orang untuk memilih komoditi uang yang mempunyai syarat mudah dibawa dan mempunyai nilai tinggi per satuan berat atau dapat dipecah-pecah tanpa menghilangkan nilai pro-rata-nya. Dua komoditi yang menjadi dominan di hampir semua negara dan semua kebudayaan adalah emas dan perak. Seperti dahulu di Inggris mengacu harga dengan poundsterling, atau diterjemahkan berarti a pound of sterling yaitu 1 pon perak. Dengan begitu harga tercermin sejatinya sebagai perbandingan antara dua kuantitas yang ditukar. Dollar, misalnya, berasal dari nama satu keping koin perak seberat 1 ons yang dicetak oleh bangsawan dari Bohemia bernama Count Schlick yang tinggal di Joachimsthal. Reputasi pembuatan koinnya yang halus dan seragam disebut sebagai Joachimsthalers dan disingkat thalers. Kata dollar lahir dari pengucapan thaler. Pada abad 19, dollar diterima di Amerika dengan berat 1/20 ons emas.
Karena emas dan perak ditukar berdasarkan perbandingan berat, maka kesatuan mata uang dari berbagai negara secara otomatis selalu tetap atau pasti perbandingannya. Jika dollar adalah 1/20 ons emas dan poundsterling sama dengan ¼ ons emas maka 1 pound Inggris dengan sendirinya bernilai 5 dollar Amerika. Karena kesatuan mata uang hanyalah suatu kesatuan berat, maka tugas pemerintah sebatas Biro Ukur dan Berat, yang mensertifikasi setiap unit pembayaran berdasarkan berat, panjang dan massa. Pemerintah adalah otoritas yang diberi kepercayaan menjaga definisi ketepatan berat dari uang sebagai komoditi. Kini, kepercayaan itu telah dikhianatinya.
Selama mata uang didefinisikan sebagai suatu kesatuan berat, maka pemerintah tidak mempunyai insentif ekonomi untuk mempermainkan nilainya. Tidak masuk akal mengatakan bahwa 1 poundsterling (1 pon perak) adalah ½ pon perak. Dengan begitu jumlah suplai uang adalah keseluruhan emas/perak yang tersedia di masyarakat, yaitu semua emas/perak yang siap digunakan untuk transaksi. Tetapi, setelah kesatuan mata uang bukan lagi menyatakan berat aktual, lebih sekedar sebagai nama sebuah mata uang, maka pemerintah mendapat insentif ekonomi untuk merubah definisi beratnya, terutama untuk meringankannya. Proses mengambil keuntungan yang dilakukan pemerintah dengan berulang-ulang meringankan kesatuan nilai mata uangnya, misalnya dengan mendefinisikan bahwa 1 poundsterling sama dengan ¼ pon perak, disebut debasement (penurunan nilai).
Kembali ke masalah Surat Utang Negara (SUN). Pada mulanya, banyak yang berpikir pemerintah SBY berhasil menambah pundi-pundi negara. Bagaimana tidak? Gaji dinaikkan, mobil mewah baru, berencana mau beli pesawat presiden, dll. Kemudian secara berkala mengeluarkan SUN dan banyak orang beranggapan pemerintahan ini walau menjalankan programnya dengan manajemen utang tetapi memperoleh kepercayaan investor karena, toh, utang harus dibayar. Ternyata, SUN berakhir di Neraca BI yang artinya pemerintah membiayai belanjanya dengan mencetak uang baru, atau debasement mata uang Rupiah. Pemerintah menabur inflasi moneter, masyarakat menuai inflasi harga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar