Genderang perang melawan korupsi di lingkungan Ditjen Perbendaharaan telah ditabuh. Tidak tanggung-tanggung. Genderang perang itu ditabuh oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarwati, saat meresmikan 18 KPPN Percontohan, 30 Juli dua tahun lalu.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa munculnya ide mendirikan KPPN Percontohan ini adalah berawal dari rasa keprihatinan adanya praktek pungli yang sangat meresahkan di KPPN-KPPN pada waktu itu. Untuk menghilangkannya, diperlukan keberanian. Upaya memotong generasi dan mengubah mindset pegawai dilakukan, apapun resiko yang akan ditanggung. Pembatasan umur pegawai yang berhak mengkuti seleksi adalah upaya memotong generasi itu. Selanjutnya, mindset pun dibentuk. Dibuatkan Standard Operating Procedure sebagai acuan kerja. Dan hasilnya, cerita pungli seperti terjadi di masa lalu, kini tidak ada lagi. Tidak terdengar lagi, bukan karena ditutup-tutupi, tetapi memang benar-benar tidak terjadi lagi.Upaya-upaya mencabut akar korupsi di Ditjen Perbendaharaan terus berjalan tanpa henti. Setiap ada pegawai yang dipromosikan menduduki jabatan esselon baru, selalu diadakan pembekalan. Gerakan mengubah mindset para pejabat. Reformasi birokrasi itu bukan sekedar berganti baju. Tetapi mengubah mindset. Inilah cara melawan korupsi ala Dirjen Perbendaharaan, Herry Purnomo. Mencabut sampai akar-akarnya, biar tidak bisa tumbuh lagi.
Disamping itu, upaya mencegah korupsi dan terapi mental para pegawai juga dilakukan. Pada saat Dirjen Perbendaharaan mendapati kasus korupsi, suap atau sebangsanya, langsung dilakukan shock terapy bagi pegawai yang lain. Sanksi Berat telah dikeluarkan, meski pegawai yang melakukan itu bukan di KPPN Percontohan.
Kasus yang terjadi di sebuah KPPN (Non Percontohan) yang pegawainya bukan hasil seleksi, menjadi contoh. Tidak ada toleransi bagi mereka yang menerima ’amplop’. Tidak ada permakluman karena bukan KPPN Percontohan, meski sebenarnya Dirjen Perbendaharaan bisa saja beralasan mereka belum menjadi objek reformasi. Artinya, para pegawai memang belum ‘diganti’ kepalanya. Jadi kalau masih mau menerima uang tanda terima kasih adalah wajar. Tetapi, sanksi tetap dijatuhkan. Dari pelaksana hingga kepala kantornya. Tidak ada toleransi. Hati tidak bergetar yang kemudian mengajak kakinya surut ke belakang mendengar tangisan mereka yang terkena sanksi. Yang ada di benak Dirjen Perbendaharaan hanya satu suap dan korupsi, sekecil apapun, harus hilang dari Ditjen Perbendaharaan. Ini tidak main-main. Bukan upaya pencitraan di media massa, karena bukan itu sasarannya, dan memang tidak ada media massa yang meliput gerakan reformasi di Ditjen Perbendaharaan. But, beurocratic reform must go on.
Dalam setiap kesempatan, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Herry Purnomo, berpesan, ”Katakan no, ketika atasan meminta uang setoran.” Begitu juga pesan Sesditjen, K. A. Badaruddin. Pembekalan ini dilakukan agar mindset Anda-anda ini berubah. Kami pimpinan di sini, Pak Dirjen, saya dan juga pimpinan yang lain tidak ingin ada kasus pegawai Ditjen Perbendaharaan menerima amplop.
Mengomentari reformasi birokrasi di Ditjen Perbendaharaan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarwati berpesan, ”Jaga sistem yang sudah baik ini. Jangan sampai nila setitik rusak susu sebelanga.”
Jadi, adakah yang lebih serius dan masif gerakannya dalam memberantas korupsi dari ini? Masih adakah pegawai yang berani menerima atau mencari-cari amplop? Pasti akan segera dicabut, sampai ke akarnya!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar